Memasuki bulan ke-3
pandemi terjadi di Indonesia khususnya di Surabaya tempat aku berdomisili,
jujur saja aku sudah mulai merasakan kejenuhan karena rutinitas yang itu-itu
saja. Pulang kerja langsung ke rumah tanpa ada kegiatan lain. Kalaupun beli
kebutuhan pokok, sebisa mungkin membelinya di lokasi yang dekat dengan rumah.
Walau bisa dikatakan
aku termasuk golongan anak rumahan tapi semenjak pandemic ini terjadi seperti
ada kebebasan yang terenggut dalam diriku, wkwkwk.
Entahlah, mungkin kalau
sebelum pandemic terjadi selepas pulang kerja aku bisa memerintah alam bawah
sadarku jika ingin pergi ke suatu tempat walau itu hanya nongkrong tak jelas.
Namun di saat sekarang kekhawatiran semua orang bahwa dimana saja virus bisa
menyerang membuatku mau tak mau juga merasakan kegundahan yang sama.
Apalagi di
rumah ada ibu yang usianya sudah 74 tahun sehingga resiko terkena virus semakin
tinggi. Aku tidak ingin menjadi pribadi yang egois, menyenangkan hati dengan
keluyuran di tempat yang mengundang keramaian namun ada manusia lain yang
rentan akan terinfeksi virus yaitu ibuku sendiri.
Aku rasa di luar sana banyak
individu yang mengalami keresahan tak berbeda jauh denganku. Bahkan bisa saja
keresahan mereka lebih memprihatinkan ketimbang diriku. Akhirnya aku merenung
bahwa sebenarnya Allah SWT masih sayang kok dengan diriku.
Aku hanya diminta
oleh-Nya untuk bersabar dan berdiam diri di rumah barang sejenak saja. Toh
waktu tiga bulan ini belum ada apa-apanya dibanding banyaknya kesempatan yang
Allah SWT berikan kepadaku untuk bisa liburan ke luar kota dengan keluarga. Masih
banyak lho pasangan suami istri yang bertahun-tahun mungkin tidak pernah
liburan dan hanya berdiam diri di rumah akibat keterbatasan ekonomi mereka.
Beberapa hikmah yang
dapat aku petik saat harus berpuasa di tengah pandemic antara lain :
- Lebih berhemat karena adanya pembatasan social menjadikanku tidak sering bepergian di saat pandemic. Persiapan berbuka puasa lebih sering aku lakukan dengan memasak sendiri tanpa harus beli di luar.
- Menyadari bahwa selama ini ternyata diriku kurang bersyukur sehingga baru diberi cobaan seperti ini rasanya serasa mau kiamat saja. Padahal yang lebih susah dariku pasti lebih banyak lagi hanya saja mereka tak punya pilihan lain selain menerima kondisi yang ada.
- Bersyukur karena masih memiliki rumah untuk berteduh dan tinggal di dalamnya selagi wabah corona menghantui setiap dari kita. Bayangkan dengan orang-orang di luar sana yang masih memikirkan bayar dengan apa biaya kontrakan bulan depan sedangkan bulan ini mungkin di kantornya sedang ada pemotongan gaji karena terdampak corona.
- Hikmah yang paling utama atas cobaan ini adalah bersyukur karena masih bisa makan makanan yang layak, sementara di luar sana banyak orang yang sudah menurunkan standar makanan yang mereka makan bahkan sampai kesulitan untuk makan.
Kalau
kita melihat ke atas terus maka leher pasti akan terasa sakit. Sekali-sekali
menunduklah ke bawah untuk menyeimbangkan gerak leher dan kepala. Sama halnya
dengan menyikapi wabah corona ini. Kalau lihat kehidupan para artis di media social
yang masih bisa makan enak walau sedang ada wabah maka yang ada di benak kita
adalah “wah, enak banget ya mereka masih bisa makan enak”, padahal ternyata itu
adalah endorse dimana para artis dibayar untuk mempromosikan makanan dari
clientnya.
Cobalah
sesekali datang ke tempat-tempat di kota kita dimana angka kemiskinannya
tinggi, pasti yang kita lihat sangat jauh berbeda dibanding kehidupan artis di
medsos.
Yuk teman-teman,
jadikan moment pandemic ini sebagai ladang amal kita untuk berbagi dengan yang
kesusahan dan sekaligus bersyukur bahwa kita masih diberi banyak rezeki oleh
Allah SWT.
stay safe and stay healthy yaaa :D
BalasHapusMakasih kak sudah berkunjung ke blog saya
BalasHapus