Sesampainya di rumah bude, saya dan Hendro beristirahat sejenak sambil ngobrol dengan bude. Sudah dua tahun saya tidak bertemu Bude, rasanya tidak percaya Bude sudah sepuh sekali. Maklum usia Bude sudah menginjak 82 tahun. Namun beliau masih terlihat sehat walau banyak pikunnya.
Perjalananku Bagian Kedua
Hendro yang baru kali ini menginjakkan kaki ke Semarang ingin sekali pergi ke Lawang Sewu. Ya sudah, sayapun menyetujui keinginannya. Toh tidak setiap bulan kami pergi ke luar kota bareng. Hitung-hitung jadi tour guide gratisnya si Hendro selama di Semarang karena ini kedua kalinya saya ke Lawang Sewu.
Saya pun memesan taxi online. Sambil menunggu taxi online datang, kami tetap mengobrol dengan Bude. Tidak lama, kami pun dijemput dan langsung menuju Lawang Sewu. Walaupun di hari kerja tapi ternyata pengunjung Lawang Sewu cukup banyak. Kebanyakan mereka datang berkelompok dan menyewa tour guide lokal yang memang sengaja ditempatkan di Lawang Sewu untuk menjelaskan sejarah berdirinya bangunan bersejarah itu.
Karena kami tidak punya uang untuk menyewa tour guide dan juga hanya berdua, kami putuskan berjalan-jalan sendiri. Ada tiga bangunan yang harus dimasuki agar dapat secara "sah" dikatakan sudah pernah berkunjung ke Lawang Sewu . Baiklah, dengan sukarela saya ikut naik sampai tingkat tiga. Walau sedikit ngos-ngosan karena anak tangganya lumayan banyak dan karena berat badanku yang semakin menggendut, dengan senang hati tetap saya teruskan. Seperti biasanya, Hendro yang kelahiran tahun 1993 meminta saya mengambil foto dirinya dengan spot-spot tertentu. Saya pun dengan senang hati mengiyakan, sambil belajar jadi fotografer dadakan hehehe.
Setelah selesai mengelilingi bangunan Lawang Sewu, saya ajaklah teman saya ini mencoba tahu gimbal, salah satu makanan khas Kota Semarang di jalan Menteri Supeno. Tahu gimbal itu kurang lebih sama dengan tahu tek di Surabaya, namun ditambah udang tepung yang dipotong kecil-kecil. Udang tepung ini yang dinamakan gimbal. Tahu gimbal terdiri dari potongan lontong, tahu yang digoreng, kecambah, irisan kol dan kuah. Kuahnya menggunakan bumbu kacang namun encer. Tidak seperti tahu tek khas Surabaya dengan saus kacang dan petis yang kental. Sayang sekali rupanya lidah Hendro tidak terbiasa dengan tahu gimbal. Gimbalnya diberikan kepada saya dan dia hanya makan lontong, tahu berserta campuran lainnya. Padahal menurut saya yang paling enak ya gimbalnya itu. Ya sudah, selera orang berbeda-beda dan saya tidak bisa memaksakan.
Setelah selesai makan, kami kembali ke rumah Bude untuk istirahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan pulang menggunakan travel pada malam harinya. Rasanya lelah sekali setelah survey lapangan lalu jalan-jalan ke Lawang Sewu yang diakhiri dengan makan tahu gimbal. Setelah membersihkan badan alias mandi, kami duduk-duduk mengobrol dengan Bude dan anak cucunya sambil menunggu datangnya travel. Pukul 19.00 travel menjemput kami dan beberapa penumpang lainnya sudah berada di dalam mobik jenis L300 itu. Kami tiba di Surabaya pada 3 Oktober 2019 keesokan harinya. Demikian perjalanan singkat saya dalam rangka urusan pekerjaan.
Sumber foto : Google
Sumber foto : Google
Baca ini jadi pengen jalan-jalan😃
BalasHapusHehehe, yuk ...
HapusMantap kali mbak
BalasHapusMakasih dek ....
HapusLawang sewu itu yg angker ya, wow keren
BalasHapusTapi sekarang udah ilang angkernya, hehehe
HapusBelum pernah ke Lawang sewu..jadi pingin jalan-jalan juga
BalasHapusHayuk kapan2, aku juga pengen ke Lampung...
HapusLawang sewu,...saya bayangkan keindahannya,,saya blm pernah kesana, maksih sdh berbagi cerita
BalasHapusBelum pernah coba kuliner ini. Semoga suatu saat kesampaian 😊
BalasHapus